Tahukah
anda dalam kehidupan sehari-hari banyak peristiwa yang kita alami, dan
peristiwa itu nantinya akan menjadi sebuah kenangan di masa yang akan datang, yang
suatu saat kenangan itu pasti akan kita ingat dan tak mungkin kita lupakan bahkan
mungkin kita akan merasa rindu dengan kenangan-kenangan yang pernah kita lewati
bersama sahabat, teman,pacar, bahkan
mungkin kita ingin mengulangi masa-masa indah itu. Satu jiwa dalam tubuh berbeda itulah sahabat dan sahabat itu bukan
aku atau kamu tapi kita. Tidak bisa kita pungkiri memang realitanya seperti
itu. Kesenangan, kesedihan yang kita alami bersama sahabat tentunya akan
menjadi sejarah bagi kita yang nantinya bisa menjadi dongeng untuk anak cucu
kita. dan kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita suatu saat nanti.
Apalagi kenangan bersama pacar kita
mulai dari pacar pertama hingga pacar yang terakhir pasti disitu banyak
momen-momen penting yang terjadi. Di saat kita pacaran memang tidak seindah
pada saat pedekate betul tidak? Banyak dikalangan remaja yang mengatakan bahwa
hal yang paling indah itu di saat pedekate. PDKT biasanya kita lakukan setelah
kita mendapatkan orang yang pantas untuk kita cintai, dan saat PDKT pasti kita
berusaha bagaimana agar orang yang kita suka juga menyukai kita. Dalam proses
mendekat pasti kita berusaha agar orang yang kita suka juga tertarik kepada
kita. Lalu bagaimana dengan anda apakah anda sudah punya pacar?
Ada
peristiwa lagi yang mungkin peristiwa itu bisa membuat kita menyesal, pernahkan
anda di cintai oleh seseorang tapi anda tidak menerimanya? Hehe......
Dan
disaat itulah kita akan merasa menyesal ketika orang yang dulunya mencintai
kita lalu dikemudian hari orang itu sudah memiliki pasangan dan berjalan
bergandengan di hadapan kita....tapi sudahlah pasti kita juga akan mendapatkan
ganti yang lebih baik. Toh kita kan masih memiliki sahabat yang selalu setia
mendampingi kita dan menerima kita apa adanya, meski sahabat yang kita miliki
ini karakternya berbeda-beda tapi itulah warna dari sahabat.
DEAR GANI
Oleh Lan Fang*
Hai,
sudah lama kita sepi dari sapa. Aku selalu rindu bertukar kata denganmu.
Mungkin hanya untuk pertanyaan remeh-temeh seperti, ”Bagaimana senjamu di
sana?” atau sekadar, ”Tahukah kau kalau di sini terang masih saja setia?”
Karena berkabar denganmu sama seperti menyapa kegembiraan.
Aku
tahu belakangan ini kau sangat sibuk. Dan, bagi laki-laki, sibuk berarti tidak
punya waktu untuk hal-hal yang remeh-temeh. Itu membuatku tahu diri bahwa aku
juga termasuk salah satu yang remeh-temeh untukmu. Bahwa aku adalah seseorang
yang tidak perlu kau masukkan ke dalam daftar kesibukanmu. Pasti terlalu
sederhana untukmu bila harus meladeni pertanyaanku tentang kenapa senja tampak
murung. Atau ikut mengamati sampai kapan kesetiaan terang bisa bertahan. Dan,
sudah pasti mentraktirku ngopi sambil lesehan di Alun-Alun Sidoarjo (seperti
pertama kali kita bertemu) menjadi sesuatu yang amat mahal.
Baiklah,
Gani, begini, apakah kau ingat dengan seorang laki-laki yang kau kenalkan
padaku ketika terang masih perkasa? Yah, laki-laki seperkasa terang itu!
Laki-laki yang meluncur deras dengan langkah seringan angin.
”Tahanlah
dia,” katamu ketika aku hendak menghindar. ”Semoga dia membawa kebaikan
untukmu,” kata-katamu membuatku terharu, Gani. Bukankah kau juga selalu baik
padaku?
Maka,
ia kutahan seperti menahan tatapannya yang bagai badik membidikku terlalu
dalam.
”Namaku
Q,” ujarnya ketika aku bertanya siapa namanya.
Tiba-tiba
saja dia membuat dadaku terbelah. Seperti keterbelahan yang kutemukan pada
huruf Q. Bukankah Q seperti yin yang? Sebuah keutuhan yang membelah dalam
bentuk dan warna. Dua belahan yang berlekuk untuk saling melengkapi lekuk yang
lain. Karena dada tidak pernah utuh, bukan? Selalu ada nganga yang harus kita
sembunyikan. Dan, kepada belahan yang satulah, kita harus memercayakan nganga
itu untuk tertutupi. Lalu, apakah dia adalah belahanku yang satu itu? Aku tidak
tahu, Gani. Tetapi, yang kutahu adalah rongga dadaku menjadi begitu longgar.
Kerangkanya bergeser dan tak lagi bersekat. Maka, dia begitu mudah menerabas
untuk menghuninya.
Gani,
bagiku mengenal Q adalah bersentuhan dengan kebahagiaan. Sekali lagi kuulangi,
kebahagiaan, Gani! Bukan sekadar kesenangan. Pasti kau tahu bedanya kebahagiaan
dan kesenangan, bukan?
Ia
seperti Sri Khrisna. Semua yang melekat padanya adalah keindahan. Wajahnya,
langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, semua merdu dan ayem.
Ia
seperti lagu yang tidak perlu nada do re mi fa sol la si do, tetapi mampu
meninabobokanku. Ia sehangat cokelat yang kuhirup ketika gerimis tidak terlalu
lebat, tetapi sudah cukup membuat tanah basah. Ia secokelat biji-biji kopi yang
digerus, tembakau yang dirajang, juga daun-daun kering yang gugur di pengujung
kemarau. Daun-daun yang menimpaku sampai mataku berkedip-kedip. Tetapi, aku
tidak ingin menghindarinya. Mataku tidak pernah tuntas memandangnya. Karena
debar terlalu berkuasa. Sehingga, setiap kali pandanganku selalu jatuh pada
dinding, meja, dan lantai. Aku malu bila sampai terjatuh di dalam tatapannya.
Di sana aku cuma menjadi penikmat getar yang dihantarkannya. Bisakah kau
bayangkan itu, Gani?
***
Q
adalah mimpi yang tidak pernah kumimpikan sebelumnya. Ia selalu memenuhi apa
yang kuinginkan. Ia cukup bermantra ”sim sala bim” maka hanya dalam dua detik,
aku sudah menjadi putri dengan kemanjaan yang berkelimpahan. Bila aku ingin dia
elang, maka dia elang yang kokoh tetapi cakar-cakarnya tidak mencengkeram. Bila
aku ingin dia langit, maka dia langit yang teduh. Bila aku ingin dia tembang,
maka dia geguritan yang mengharumkanku dengan ratusan wangi ratus. Bila aku
ingin dia kisah, maka dia sediakan canting agar aku bisa menulis helai-helai
malam. Maka, bila ini mimpi, aku tidak mau bangun, Gani.
Kami
adalah sehati yang mendiami dua dada. Satu hati yang saling mengirim dan
menerima getar dari semesta. Aku menyesal pernah mengabaikan getar itu. Bahkan
ketika getar menjadi debar yang terasa nyut nyut nyut tetap saja kuanggap
sebagai entah yang kupertuankan. Sampai ketika getar itu menjelma menjadi telur
semesta yang berbisik dalam desis aneh, ”sssttt… ini aku…”, aku baru
memercayainya sebagai tuanku yang bersuara tanpa bunyi. Maka, sekarang dengan
setia kuerami rasa itu.
Tetapi,
tiba-tiba ada perang yang membuat mimpiku retak!
Dengarlah,
perang itu hiruk-pikuk seperti gemuruh Kurusetra. Di mana-mana ada suara yang
memekakkan seperti jerit sangkakala. Prajurit-prajurit kecil harus bertempur
melawan dengan gajah dan kuda. Hujan lembing dan panah menjadi badai yang
menderu-deru. Riuhnya membuat katup-katup jantungku merenggang. Rasa yang
kuerami itu tidak aman lagi bersembunyi di sana.
Di
sana aku melihat Q seperti Hector, seperti Achilles, seperti Musashi. Dia
bertarung tanpa pedang, tanpa samurai. Tetapi harus terus menebas. Lalu,
tampaklah dia terkepung segerombolan orang yang berbicara dengan bahasa dari
pulau-pulau tersembunyi. Orang-orang dengan bahasa yang tak kumengerti. Bahasa
yang menggoreskan sayatan seperti irisan pedang dan samurai. Tidak berdarah,
tetapi melukai. Dan kuratapi lukanya seperti tercucur cuka.
Perang
itu seperti mata pisau yang membuat puisiku mati kata. Puisiku menderita sekali
di sana. Takdir memakunya sehingga tidak bisa bergeser. Ah, tepatnya, puisiku
tidak mau menggeserkan diri. Karena pada wajahnya, langkahnya, senyumnya,
matanya, kata-katanya, pada Q tertancap sekujur puisi.
”Perang
adalah sekumpulan manusia berkartu dua. Durna yang bisa menjelma menjadi
Rahwana!” Begitulah, kuserapahi perang. Aku terbakar kemarahan sendiri.
”Begitu
bengiskah kau menilai Durna? Tahukah kau bila Durna seorang resi terkemuka?
Durna semulia Bisma. Ia tidak membela Kurawa. Yang dibelanya adalah Hastinapura,”
Q menegurku dengan lemah lembut. Yah, Q selalu bicara dengan nada rendah yang
lemah lembut padaku. Ia selalu menegurku dengan rasa. Karena itu pula, aku
tidak pernah mampu membantahnya.
Tetapi,
aku tidak kenal Kurawa atau Pandawa. Mereka semua petinggi-petinggi yang
berebut Hastinapura. Sedangkan, tahta Hastinapura itu bukan apa-apa untukku.
Aku cuma mencari Q. Aku cuma ingin Q. Sederhana saja, bukan?
Dan
bila berbicara tentang Bisma, bisa saja kumengerti bila hidup dan matinya hanya
untuk Hastinapura. Karena ialah sebenarnya pemilik takhta Hastinapura yang
bersupata tidak akan jatuh cinta.
Tetapi,
bagaimana dengan Durna? Ia resi, ia begawan, ia guru yang begitu dihormati
Pandawa dan Kurawa. Ia yang mendidik anak-anak raja itu memanah, berkuda,
bergulat, bertombak, bergada, sampai menjadi para satria terkemuka. Suaranya
dipatuhi Pandawa dan Kurawa. Kupikir bila ia mencintai Hastinapura, tidak
seharusnya ia biarkan Bharatayudha meluluhlantakkan negara yang dibelanya,
bukan?
Oh,
Gani, dalam mimpiku, kulihat Q adalah Ekalaya. Dia memuja Durna sebagai sang
mahaguru. Tetapi, dia tidak bisa berguru padanya karena hanya seorang satria
biasa dari kaum pemburu. Dia bukan anak raja. Juga bukan putra dewa. Lalu,
bagaimana caranya agar bisa menjadi murid Durna? Maka, ia mengintip ketika
Durna mengajar Arjuna. Kemudian, membuat arca Durna yang diakuinya sebagai
guru. Sampai Arjuna memergokinya dan menantangnya bertanding panah. Maka, dua
busur sama-sama direntang. Dua anak panah sama-sama melesat. Panah Arjuna
memang tidak pernah luput dari sasaran. Tetapi, panah Ekalaya membelah panah
Arjuna! (bukankah Q memang keterbelahan?)
Durna
terkejut. Ia tidak menyangka ada satria lain yang bisa mengalahkan murid
kesayangannya, Arjuna. Kemudian, ia menanyakan siapa guru Ekalaya? Dan ia
mengatakan bahwa gurunya adalah Resi Durna.
Tahukah
kau apa yang terjadi setelah itu, Gani?
Durna
meminta Ekalaya melakukan dakshina. ”Bila kau menganggapku guru, maka potonglah
ibu jari kananmu,” pinta Durna pada Ekalaya sebagai bukti bakti dan patuhnya.
Ekalaya
pun memotong ibu jari kanannya untuk dipersembahkan kepada gurunya. Walaupun ia
tahu bahwa dengan pengorbanannya itu, ia tidak bisa lagi memanah dengan baik.
”Inilah bakti dan patuhku,” ujarnya tanpa menyesali ibu jari kanannya yang
hilang. Maka, tidak ada lagi satria panah yang bisa mengalahkan Arjuna.
Oh,
Gani… Apakah seorang guru boleh memenangkan muridnya yang satu dengan menyakiti
muridnya yang lain?
Pasti
sakit. Tetapi, Ekalaya tidak menangisi panah dan meratapi busurnya. Justru aku
yang menangisi dan meratapi Q. Aku menyesali jarinya yang terluka. Sakitnya itu
air mataku, Gani!
Aku
begitu pilu ketika menyadari ternyata sehati belum tentu berarti sepikiran.
Gani, apakah sehati saja sudah cukup kuat untuk mengikat dua perasaan?
Jawablah…
Mungkin
kau keheranan dan akan bertanya padaku, ”Kenapa kau sekarang begitu cengeng?”
Sudah
tentu aku menjadi cengeng ketika debar berubah menjadi ketir-ketir yang setiap
saat menalu. Bukankah artinya aku harus mulai mempersiapkan hati untuk menerima
rasa sakit dari pikiran yang berselipan? Padahal, bukankah hati kami satu rasa?
Aku
ingat, kau selalu mengatakan bahwa aku selalu berbicara dengan hati. Padahal,
hati tidak pernah dipakai oleh para samurai. Yang ada pada diri petarung adalah
terus bertarung atau terpancung. Yang ada pada diri samurai hanyalah menebas
atau ditebas. Yang ada pada Q adalah hari-hari berangin yang tidak tahu apakah
langit akan teduh atau badai.
Lalu,
apa yang ada padaku?
Aku
selalu mengatakan pada Q bahwa yang ada padaku adalah mimpi. Memimpikannya
tentu saja. Memimpikannya sebagai pangeran berkuda yang membawaku pergi dari
perang itu. Pergi ke surga kecil yang kutemukan tanpa sengaja di pedalaman
Bojonegoro.
Di
sana ada sendang yang dikelilingi hutan bambu. Ketika angin bernapas, batang-batangnya
saling bergesekan dan daun-daunnya saling berciuman. Angin juga menggugurkan
sebagian dari mereka ke permukaan sendang. Mereka terapung-apung di sana,
berpayung cabang pohon-pohon besar yang diselimuti humus dan lumut.
Lalu,
rumah bambu itu tidak berdinding sehingga udara bebas lalu lalang. Sebebas
kebahagiaan yang menerobos ke dalam hatiku. Dan lantainya dari besek bambu,
atapnya dari daun dan pelepah kering yang dijalin satu dengan yang lain dengan
tali tambang. Aku menghirup harum yang luar biasa ketika berada di dalamnya.
Harum dari partikel udara yang menguap dari sela-sela daun dan pelepah itu. Aku
tidak mau kehilangan kesempatan itu. Diam-diam kucuri harum itu. Kuselipkan ke
dalam ingatanku.
”Di
sana Eden, di sana Firdaus!” kukatakan dengan menggebu. Karena tempat yang
semula hanya bisa kutemukan di dalam kitab tiba-tiba saja tercipta. Kupikir, di
tempat itu kehidupan akan berjalan abadi. Karena tidak ada perang di sana. Dan
di sana terlalu indah untuk berkisah tentang Durna dan Rahwana. Sehingga, senja
tidak akan pernah murung dan terang akan selalu setia. Tidak seperti neraka
kecil yang pernah kujumpai di sebuah gedung tua di Jember. Tempat yang
membuatku mengerti bahwa neraka tidak selalu panas api.
Bahkan,
di dalam rumah bambu itu kutemukan banyak buku. Bukan buku baru seperti di toko
buku. Tetapi, buku-buku yang halamannya sudah menguning dan lusuh. Dan, ketika
kubuka, puisi berjatuhan dari lembar-lembarnya, bertebaran di atas lantai.
Puisi itu tampak berkilauan seperti permata yang bergelantungan di ujung-ujung
atap rumah bambu. Puisi yang selalu membuatku teringat bahwa ia adalah puisi.
Dan,
seperti biasa ia tertawa mendengar kata-kataku (ia selalu tertawa padaku,
Gani). Katanya, ”Iya, semoga saja aku selalu puisi untukmu. Kita adalah puisi
yang sehati dan sepikiran,” begitulah Q padaku. Ia adalah pengharapan indah
yang memberikan kebahagiaan tak berkesudahan.
Maukah
kau juga mengamininya, Gani? (*)
Demikian artikel dear gani yang dapat saya sajikan kepada anda apabila ada kesalahan kata anda dapat memberikan komentar tentang artikel saya ini, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya apabila artikel ini bermanfaat bagi anda jangan lupa untuk share ke teman-teman anda agar teman anda mendapatkan manfaat juga dari artikel tersebut. Tunggu artikel yang selanjutnya.
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.cc