Test Footer

Kumpulan Puisi Dengan Tema Indahnya Pagi, Heningnya Malam

Kumpulan Puisi Dengan Tema Indahnya Pagi, Heningnya Malam
Mobogenie.com
Artikel Perjuanganku di Universitas Airlangga Belum Berakhir yang admin posting kemarin adalah artikel yang saya ikutkan competition blogging, doakan ya sobat semoga bisa lulus seleksi dan menang.

Kumpulan puisi Yang bercerita tentang kehidupan manusia kali ini adalah alunan estetika kata-kata dan kutipan renungan kehidupan yang penuh makna terangkai.

Kehidupan memang penuh misteri dan dinamika dimana didalam menjalaninya kita selalu mendapatkan berbagai hal tak terduga. Yang jelas hidup ini terus berjalan apapun yang terjadi.

Kumpulan puisi di bawah ini bisa anda baca sebagai motivasi akan indah dan sulitnya kehidupan yang fana ini. 


Kala Lampu ditepi Jalan itu dinyalakan, warna hitam mengitari kehidupan antar manusia, maka kehidupan yang terang benderang ditemani mentari berubah suasana.

Sebahagian manusia menyangka bahwa waktu itu adalah waktu yang paling tepat menjadikannya sebagai baju istirahat penghilang kepenatan dan keletihan. Sedangkan sebahagian lainnya menjadikan waktu malam sebagai pengais rezeki dan berkumpulnya komunitas yang sewarna dengannya.

Heningnya malam dapat dirasakan oleh orang orang yang memiliki hati untuk tetap berbicara tanpa untaian kata dan dimengerti oleh jiwa jiwa yang membutuhkannya.

Heningnya malam di pedesaan atau dipinggiran kota besar akan terdengar suara suara binatang tertentu yang memang terbangun untuk mempertahankan hidup mereka dari kelaparan dan ketidakmampuan berjalan di waktu terang.

Heningnya malam terucap seuntai doa untuk para sahabat terdekat dan terjauh agar selalu dalam lindunganNYA.

Rembulan

Pagi tadi, ku lihat sang rembulan masih menampakan wajahnya disana.
Bersama gemintang di samudra awan.

Pagi tadi, aku menatapnya kagum. Terbesit tanya dan heran dalam benak.
Ku coba menatapnya lekat-lekat seraya bertanya.

"HAI BULAN! Sedang apa kau disana?"
Bulan hanya diam dan tersenyum cerah kepadaku.
Kembali ku bertanya padanya.

"Ini sudah pagi, sudah waktunya mentari yang menggantikan posisimu! Tidakkah kau lelah sedari malam kau berada disana?"

Lagi lagi ia hanya tersenyum.
Aku tak mau kalah, kembali ku bertanya
"Bulan, mau sampai kapan kau menunggu disana? Menatap kami dari heningnya malam hingga jernihnya pagi.

Tidakkah kau ingin beristirahat?
Bertukar peran dengan mentari hingga senja dan akhirnya kembali ketika malam tiba lagi ?
Bulan, aku iri denganmu.

Sudah sepagi ini dan sudah waktunya kau istirahat tapi kau tetap berada disana.
Menerangi kami dan memberikan keindahan di kala fajar.
Menerangi kami hingga mentari terbangun dan sadar akan tugasnya.
Bulan, semoga aku bisa sepertimu.

Bersinar walau tak secerah mentari.
Bersinar walau harus memerlukan mentari.
Bersinar tanpa pamrih.

Bulan, terima kasih telah membuat pagiku indah.
Terima kasih telah memberikan energi positif untuk akhirnya bertemu mentari dan senja.
Sampai jumpa malam nanti. Semoga dalam keheningan malam nanti aku dapat menjumpaimu kembali.

 "Harapku"

Alhamdulilah...kata itulah yang selalu ingin saya ucapkan menjelang subuh. Namun terkadang jangankan sempat mengucapkan ,ingat saja tidak. Hemh... karena banyaknya masalah menghimpit yang datang silih berganti.Satu belum selesai yang, lain sudah antri. Selalu berusaha menyelesaikan satu persatu agar tidak menimbulkan masalah baru .Yaa Rabb disetiap doa yang saya ucapkan fainnama'al usri yusro .Innama'al usri yusro...janjiMu disetiap kesulitan bersama kemudahan. Seharusnya aku pegang teguh. Tapi tetap saja keyakinan saya terusik dengan masalah yang bagiku berat dan kebingungan mencari jalan keluarnya. Hingga bulir- bulir bening ini tak henti berjatuhan disaat kepala bersujud mengharap limpahan rahmatMu disepertiga heningnya malam.
AnneAhira.com

Dini hari langit terlihat sangat mengesankan. Mentari belum terbit, namum kejora setia memancarkan sinarnya.

Hangatnya melelehkan kebekuan hati di tengah dinginnya dini hari. Ingin aku berterimakasih kepada Sang Pengatur Rotasi atas kesempatan yang Ia berikan. Kesempatan untuk dapat melihat terbitnya mentari.

Tak lama kemudian mentari terbit. Sapanya dibalas dengan dinginnya hawa. Ini memang musim hujan, tapi entah kenapa pagi ini hawa dingin menerpa tanpa adanya hujan. Kabut tipis mulai turun membatasi pandangan mata.

Sekejap kemudian kabut menghilang digantikan panas teriknya sang mentari
Meski demikian panas tak mengurangi minat bocah-bocah kecil ini untuk bermain dalam kecerian. Berlarian, bermain dengan sepatu roda, bersepeda. Mereka menikmati ceria dan cerahnya pagi ini.

Namun musim tak bisa berbohong. Semakin siang panas semakin menyengat. Gumpalan uap air berkumpul pada langit-langit itu. Panas mentari sedari tadi pagi terperangkap menambah gerah penghuni belahan bumi ini. Tanda-tanda hujan deras akan datang.

Ya, siang itu hujan deras datang. Sangat deras, hingga banjir menutupi beberapa ruas jalan. Tapi jangan salah. Tak semua penghuni menggerutu dengan datangnya hujan ini. Ada tukang ojek payung yang mengais rejeki. Ada pemilik warung kelontong yang mendapat rejeki dari para pembeli yang mau tidak mau berteduh di depan warung. Sore ini? Aku tak bisa meramalkan apa yang terjadi pada sore, senja, hingga malam nanti. Aku hanya berharap sore nanti mentari kembali menampakkan diri hingga aku bisa menikmati senja yang penuh pesona. Senja yang penuh keikhlasan. Keikhlasan untuk melepas perginya mentari sehingga aku bisa dengan bahagia menyapa bintang-bintang dan bulan. Kembali menikmati keheningan malam yang sejuk. Malam. Saat aku pulang ke rumah yang kurindukan untuk menikmati keheningan dan kedamaian. Semoga.


Judul 》 Mari Menangkan !!!

Karya : Rinanggi Mustika Ratu

Pagi, syarat akan udara dingin. Udara tersebut tak akan mampu dimenangkan oleh pemalas.

Pemalas akan tetap tidur dalam lelap buaian mimpinya. Melanjutkan angan angan kosong hingga matahari menampakkan cahayanya.

Pagi, identik dengan syarat berkah dari illahi.

Sedikit yang mampu berdiri tegap mengokohkan niatnya, raga dan harapannya untuk menyambut hujan berkah pagi.

Ibu berkata, kebanyakan orang sukses, selalu mampu menahlukkan pagi dengan kemenangan yang nyata.

Kemenangan yang nyata itu apa??
Kemenangan yang mampu kau menangkan dengan semangat menuju tempat peribadatanmu.
Ingatkah panggilan azan yang mengajakmu kepada kemenangan yang nyata?

Khayya 'alalfalaah mari menuju kemenangan.

Ketika datang siang, orang disibukkan dengan pekerjaan yang melalaikan.

Maghrib adalah permulaan malam.

Kehadiran malam adalah hadiah dari siang. Setelah siang harus bekerja keras membanting tulang. Malam datang menyambut seperti ibu. Mebelai dengan lembut dan mampu menghadirkan mimpi.

Banyak orang yang aka terlena ketika malam datang.

Orang yang menang adalah yang mampu menakhlukkan malam dengan terjaga di sepertiga malam terakhirNya.

Hanya orang yang beriman, mengharap ridhoNya, kuat niatnya dan berlimpah rasa syukurnya yang mampu bangun.

Semoga kita termasuk golongan hamba yang beruntung. Mampu memenangkan pagi dengan  menyambut hujan berkahnya.

Dan mampu memenangkan malam dengan amalan terdahsyat pengangkat derajat..
Tulungagung, 20 November 2016

Isdaryanto.com

Indahnya Pagi, Heningnya Malam
Karya: Naser Muhammad 

Kau tahu pagi, dengan sinar mentarinya yang bersinar mengawali hari. Menerangi bumi tanpa lelah tak sedetik pun mengeluh letih. menemani setiap langkah kaki menyongsong mimpi.

Pagi metafora, bagi jiwa yang ceria. Mengawali pagi dengan senyuman indah, mengukur langkah, menata jiwa, untuk masa depan yang telah lama didamba. Tak ada raut wajah yang nampak berduka, yakin. Bahwa setiap tanya, pastilah ada jawabnya. Bagai luka yang selalu saja punya obat penyembuhnya.

Kau tahu pagi, awal Tuhan membagi rezeki, tanpa pilih kasih. Ikhtiarlah menggapai mimpi,x sambutlah kasih Tuhan dengan memberi, memberi tanpa pamrih.

Malam, senyap dalam kelam, gelap tertungkup pualam, saat megah merah di ufuk barat tenggelam menyisahkan rona merah saga dari petang yang sebentar lagi akan menghilang dan menyelam.

Kau tahu malam, tempat untuk mengistirahatkan tubuh yang tengah remuk redam dari aktifitas yang silih berganti menguras badan, sendi seakan terlepas bagai dihantam godam, mengejar kesuksesan yang terkadang menyala namun terkadang padam. tak pernah ada kepastian, hingga Tuhan yang berfirman waktunya tuk pulang.

Tapi kau tahu malam, ia tak sesunyi yang kau bayangkan, jika nafas telah ludas di telan kepenatan, cobalah engkau basuh wajahmu dengan air di sepertiga malam, saat mata sebagian tengah terlelap, terpejam, kau besimpuh di atas sejadahmu yang kusam dan rintihkan segala kepenatan mengarungi bahtera impian yang tak kunjung ada jawaban.

Malam adalah tempat tersunyi paling indah antara hamba dengan Tuhan, bercerita dan mengadu tentang kesakitan tempat paling indah untuk berlari dari kepenatan dan beratnya ujian. dan pagi pun datang tuk melihat bagaimana Tuhan membuat keajaiban dari doa-doa kita semalam.


Itulah Kumpulan Puisi Dengan Tema Indahnya Pagi, Heningnya Malam , semoga menjadi inspirasi kita semua.


warning: Bagi anda seorang blogger yang ingin meng-copy paste artikel saya harap sertakan link sumber, dengan begitu anda mematuhi aturan dan menghargai penulis. Namun alangkah baiknya jika anda menulis artikel dengan pemikiran anda sendiri, itu malah terlihat hebat. 

Perjuanganku di Universitas Airlangga Belum Berakhir


Belajar Ataukah Bel-ajar?- Universitas Airlangga adalah salah satu perguruan tinggi negeri terbaik yang ada di indonesia, yang berada di kota Surabaya Jawa Timur. Unair memiliki puluhan ribu mahasiswa lebih, mulai yang berasal dari jawa maupun luar jawa. semuanya ada di UNAIR. Lalu apakah sobat masih ragu dengan kualitas dan mutu pendidikannya? tentu saja tidak!.

Oleh sebab itu sobat yang belum bergabung menjadi mahasiswa UNAIR di persilahkan segera daftar tahun depan. Untuk mengetahui segala informasi, perkembangan dan kegiatan yang ada di UNAIR silahkan klik link: http://www.unair.ac.id/

Teman-teman blogger indonesia, bantu ramekan event UNAIR ini. Pendaftaran 100% GRATIS dengan
hadiah puluhan juta rupiah!

Lalu bagaimana kelanjutan ceritaku di UNAIR? silahkan saksikan!

--Perjuanganku di Univertitas Airlangga Belum Berakhir--

Pagi ini sepuluh November. Pagi seperti biasa, serasa tak ada yang istimewa. Jam sudah menunjukkan 7:00 waktu ruang dapur. Tangan sudah di cuci, almamater dikenakan.

"Aku berangkat dulu ma ... " Kecupan dengan pelukan menggambar perempuan tua 53 tahun yang memegang roti tawar, bekal sarapan.

"Ojok ... " Gerutunya.

Walaupun rutinitas, pamit berangkat bukan perkara mudah. Sebagai pria, jauh dari rumah menyisahkan berat yang tak bisa di angkat. Mungkin semangat juang yang diturunkan leluhur masih mampu mengobarkan harapan.

"Sama pengasuh  ya ... Nanti diantar ayah. Assalamualaikum mama. Jangan khawatir " Rutinitas ini menyenangkan namun menyesakkan.

Seperti jadwal semestinya, 7:00 jadwal upacara rencana dimulai. Namun motorku masih melewati Pasar Keputran kala alarm bel kampus UNAIR di seberangnya tertangkap telinga, pertanda 7:00 telah lewat. Benar saja ... Sang saka sudah bersiap berkibar setengah tiang ketika stang motor baru membelok tanah parkiran. Hanya saja mendadak Pak satpam menghalau.

"Puter Mas ... Terus. Langsung ke makam." Pak satpam memutar tangan.

"Lah ... Upacaranya udah? Cepet banget ... jam tujuh bener?" Pikirku melayang.

Beberapa mahasiswa sudah bersiap dengan motornya. Ilil ... Karyawan termuda terlihat bimbang. Seperti hendak tapi tak berkehendak. Suara gemparku seperti mengarahkan kakinya tenang.

"Ayok, Mas. Berangkat ..." Posisinya manis dibelakang.

Sejurus kemudian motor kami berarak beriringan. Bukan konvoi hanya berkendara bersama. Setiba di portal, kuberanikan bertanya.

"Ini kemana?" Lugu memang.

"Makam pahlawan, Mas. Upacara di sana." Masih lugu pula jawaban.

                                                                                                       
Jadi seperti itulah. Sepuluh menit perjalanan, kami telah sampai di parkiran. Yang ada hanya sepi dan batu nisan berjejeran. Beberapa satpol pp terlihat bersiap menandakan kami tidak kesasar. suasana yang lenggang sepertinya selphie lebih mengasyikkan. Jepret kanan ... Jepret kiri ... Tak paham mulai jam berapa acara di mulai. Hingga ... Krucuk ... Krucuk .. krucuk ... Ach ... Saya lapar. Selalu bisa masak tanpa sempat mengaduk nasi.

"Angga.. ijin, ya. Mau cari makan." Seseorang menghampiriku.

"Kamu lapar, Nak?" Retoris memang. Namun yang mengangguk tak cukup satu atau dua kepala.

Oke. Nasib yang sama. Sama-sama perut lapar. Misi di mulai ... Mencari pengganjal perut agar cepat berhenti menabuh. Sebelumnya seorang bapak berbaju diknas yang wajahnya begitu lekat dengan kami, menghampiri. Menanyakan jumlah peleton dan asal kami. Namun misi ini terasa sulit. Penjual gorengan di parkir sebelah kanan sudah ludes sejak sepuluh menit awal kedatangan kami.

"Ada mie ayam, Mas. Sebelah sini. Kalo di depan situ, bakso murah." Pak Heru layaknya guide kuliner tanpa segan menjelaskan.

"Mana ...? Adanya tembok." Gerutuku.

Jelas hanya nanti jawabnya. Beberapa warung di pinggir makam di depan parkiran, masih tertidur. Beberapa terjaga, dengan kepulan asap pertanda bersiap. Sedangkan perut kami sudah bergenderang bersiap perang.

Mendapati jadwal upacara yang seharusnya dilaksanakan setelah upacara utama di balai kota Surabaya, tentu membuka peluang lebar akan tujuan misi kami. Mie rebus satu-satunya termudah namun kata 'bosan' agaknya terlanjur basah di benak kami.

Demi kelancaran misi, tim tanpa sengaja terbentuk. Satu tim ke arah barat, satu tim ke arah selatan, satu tim ke arah timur, dan tim lain berjaga di kandang. Sepuluh menit kemudian panggilan tim kandang meminta kehadiran. Bantuan logistik sudah diterimakan. Satu kotak kue lengkap air mineral dan tissue sudah di tangan. Bersama ... Kami sarapan. Namun kumandang ini belum mereda, hanya misi kami yang mengerucutkan posisi. Cukuplah warung-warung itu, tak akan jauh kemana.

Entah siapa yang mulai, sepuluh menit kemudian posisi kami sama-sama sejajar. Di depan bangku panjang dan sepiring rawon baru matang, tak lupa teh hangat segar. Sepuluh menit berlalu ... Dan misi dengan resmi kami selesaikan.

Di bawah gapura bertulis 'Taman Makam Pahlawan' sempat aku bertanya tentang perjuangan. Apa artinya perjuangan bagi kalian? Satu-satu berpendapat. Tak ada yang salah dengan pendapat mereka. Bahkan sudah pandai menyambungkan keadaan. Dulu dan sekarang. Lalu aku ... Hanya mengingatkan sedikit perjuangan barusan.

"Bahkan barusan saja kita berjuang. Mencari warung untuk makan. Kalo tadi gak ada tim ... Apa bisa samaan makan?" Ach ... Semuanya terkekeh kemudian.

Perjuangan agaknya dekat dengan kami. Hanya situasi dan keadaan yang membedakan dulu dan sekarang. Tabur bunga di makam pahlawan membuka memori kami pada perjuangan yang sesungguhnya. Pengorbanan tentang kemerdekaan. Bukan berarti saat ini merdeka lantas kita berfoya. Tidak. Justru penjajahan masih merajai kami semua.

Secara sederhana. Perjuangan itu masih kami perjuangkan pada masing-masing diri kami. Perjuangan mendapat penghidupan yang layak. Perjuangan untuk mampu Cerdas. Bahkan akupun berjuang. Perjuangan untuk masa depanku. Sebagai pria sejati, tempat terindah adalah rumah dengan segala urusan rumahnya. Ada sesak yang harus diperjuangkan, sebab mama yang lanjut usia tak mau lepas dari Kursi roda, lebih banyak mendapat perhatian dari pengasuhnya, orang lain.

Nyatanya masing-masing dari kami pun masih berjuang. Seperti Tafrihin dan kawan-kawan yang datang dari NTB hanya untuk mengenyam pendidikan layak Universitas Airlangga. Yang harus berjuang hingga meninggalkan desanya sampai di sini, Surabaya, kota asing bagi mereka. Yang sebulan lalu mendapat rintangan besar dan harus dikembalikan setengah dari jumlah semula. Mereka berjuang pada penjajahan yang tak kasat mata, merdeka yang tak merata.

Sebagai seorang muslim, penjajahan itu makin terasa kasat mata. Pemimpin yang dzalim, birokrasi yang berat bulu, bahkan makanan. Kami terjajah dalam negeri kami sendiri tanpa kami sadari pasti. Hanya beberapa orang dari kami yang sadar diri. Namun sebagian masih tidur dalam kekuasaan yang memabukkan.

Negeri kami tak hanya butuh orang pintar. Sebab banyak orang pintar yang ternyata memeras saudara sendiri. Banyak orang pintar yang mengatas namakan kecerdasan, persamaan hak, keadilan, yang justru tak berani adil untuk saudaranya sendiri, darah daging bangsa.

Ach ... Negeriku. Jika para pejuang di bawah sana mampu bangun ... Mungkin mereka akan mengutuk kami. Bagaimana bisa bersantai dengan membawa gadget menutup mata pada keadaan. Kemerdekaan yang sudah mereka rebut begitu mudah kami gadaikan. Generasi yang katanya pintar, tak sepandai yang dibutuhkan.
 

                                                                                
"Angga ... Berarti dosen pun dikatakan pejuang ya." Gadis perawan di depanku menggelitik hati.

"Iyalah ... Ada lagunya. Pahlawan tanpa tanda jasa." Celetuk yang lain.

"Gak bisa donk kalo tanpa tanda jasa mulu." Jawabku mengernyitkan dahi mereka.
Sepuluh menit kemudian lalu aku berkisah. Tentang perjuangan tanpa bambu runcing atau kelewang. Tentang cinta yang dikobarkan namun musnah sebab birokrasi yang tak semestinya. Tentang alasan mengapa dosen pantas disebut pahlawan namun wajib untuk diperhatikan.

"Iya kalo PNS, Gajinya dari pemerintah. Tiga juta sebulan. Belum gaji ke-13, gaji ke-14 ... Sertifikasinya ... Tunjangan masa tuanya. Kalo masih mahasiswa seperti saya ini, ya apa-apa berjuang. Bahkan untuk fungsional yang menunjukkan status dosen aktif juga harus dibuktikan.

"Lalu mengapa ingin jadi dosen, Ngga? Kok gak ambil profesi lain?" Ach ... Pertanyaan ini menyesakkan. Haruskah aku jawab? Sebab sudah menjadi cita-citaku sejak kecil, tak mau lagi bagiku membelok jalan.

"Tak ada tuntutan keluargaku menjadi dosen. Hanya keadaan yang menggiring ke sini. Kata Pak yai ... Dosen itu gajinya besar. Tidak seperti yang terlihat. Jika sebulan dapat seratus, maka seratus pula digandakan untuk di simpan. Nanti di akhirat gaji itu diberikan. Lumayan kan buat sangu kalo aja haus di sana, jika jadi pemberat kan alhamdulilah." Layaknya ustadzah aku menjelaskan.

Ach ... Mungkinkah aku terus berjuang? Hingga menjadi dosen dengan banyak kepentingan. Cinta yang terlanjur aku pendam ini haruskah berakhir sudah? Sebab ada Pengorbanan yang terlanjur di wujudkan. Bisakah mengajar tanpa memikirkan imbalan? Bahkan pejuang yang damai di bawah sana, pun memikirkan generasi setelahnya, kami anak cucunya.

Mungkin juga pantas ekspektasi ini diperjuangkan. Sebab kata Pak yai demikian. Insya Allah ... Semoga Allah mengijabahi. Jika langkahku di sini terseok ... Ringankan nanti di akhirat. Semoga ilmu ini bermanfaat bagi umat. Semoga hati ini selalu bersih dan iklas dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan.

Itulah cerita Perjuanganku di Universitas Airlangga Belum Berakhir yang dapat admin tulis.